MAKALAH
( HAROA DALAM PANDANGAN ISLAM )
Disusun Oleh :
NAMA :
RAHMAD SANTOSA
FAKULTAS TEKNIK INFORMATIKA
UNIVERSITAS DAYANU IKHSANUDDIN
BAUBAU
KATA
PENGANTAR
Puji dan
syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat limpahan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penyusun dapat menyusun makalah ini tepat pada
waktunya. Makalah ini membahas Haroa Dalam Pandangan Islam.
Dalam
penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapat tantangan dan hambatan akan
tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan itu bisa teratasi. Olehnya
itu, penyusun mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak
yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, semoga bantuannya mendapat
balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa.
Penyusun
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk
penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat penyusun
harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Akhir kata
semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita sekalian.
Baubau, 24 NOVEMBER 2014
DAFTAR ISI
COVER
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
B.
Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
A. Tradisi Haroa Masyarakat Islami Buton
B. Tradisi Haroa Sebagai Media Resolusi Konflik Dalam
Menciptakan Perdamaian Umat Antar Suku Bangsa Di Buton
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kanyataan
dalam kehidupan manusia yang tidak terhindarkan adalah seringnya terjadi
konflik, sebab konflik sifatnya laten dan selalu berpeluang untuk terjadi.
Dewasa ini dalam kehidupan manusia konflik sangat mudah dilihat dan didengar,
baik itu dilingkungan sendiri maupun terjadi ditempat yang lain, bahkan di
media baik yang cetak maupun yang elektronik banyak menyajikan pertikaian yang
terjadi, di bumi pertiwi ini. Di Ambon, Kalimantan dan Poso terjadi konflik
besar yang menelan korban harta dan korban jiwa. Pertentangan antara etnik,
agama dan kepentingan sering menjadi penyebab utama terjadinya konflik. Konflik
dalam proses interaksi sosial merupakan realitas dalam kehidupan manusia.
Konflik tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia sehari-hari, sebab
konflik dapat terjadi pada level individu, sosial maupun ditingkat elit bangsa
ini. Fenomena sehari-hari sering memperlihatkan bahwa konflik dapat saja dengan
mudah terjadi, kadang penyebabnya sangat tidak mendasar bahkan sangat “sepele”.
Inilah yang selalu membuat para peneliti untuk mengkaji secara mendalam kenapa
konflik dalam kehidupan manusia yang selalu hadir ditengah tengah porses
interaksi manusia.
Konflik
yang mengarah kepada kekerasan merupakan salah satu indikasi masyarakat sedang
“sakit” dimana faktor non adaptive lebih berkembang dari faktor adaptive. Dalam
kondisi demikian, masyarakat dilanda krisis nilai dan norma sosial. Sebagian
dari nilai-nilai sosial yang sejak lama disosialisasikan tidak lagi
dipergunakan sebagai acuan dalam melakukan interaksi sosial. Disamping itu,
norma-norma sosial yang ada juga tidak mampu mengendalikan arah perilaku
anggota masyarakat. Hal ini terjadi karena kekecewaan yang amat hebat karena
berbagai harapan masyarakat, baik yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan
ekonomi, politik, maupun kultural, tidak terpenuhi.
Dalam
rangka meredam konflik yang disebabkan oleh kekecewaan karena berbagai harapan
masyarakat yang berkaitan dengan kultural maka di Buton sejak masa kesultanan
sampai sekarang telah melakukan tradisi haroa. Tradisi haroa ini
ternyata dipandang efektif sebagai media resolusi konflik dalam menciptakan
perdamaian umat sekaligus media integrasi antar suku yang berada di Kabupaten
Buton. Hal ini dapat dilihat dari keakraban dan silaturahmi antar keluarga dan
tetangga yang beda suku bisa cerita-cerita bareng dan saling berbagi pengalaman
jika tradisi haroa dilaksanakan.
Menariknya,
tradisi haroa yang dilaksanakan oleh Masyarakat Islam Buton ini diadakan
pada hari-hari besar islam dan dilaksanakan di rumah-rumah warga yang diikuti
semua anggota rumah dan tetangga yang berbeda suku maupun yang berbeda agama
duduk mengumpul di satu ruangan, dan di tengahnya ada nampan yang berisikan
kue-kue seperti onde-onde, cucur (cucuru), bolu, baruasa (kue beras), ngkaowi-owi
(ubi goreng), dan sanggara (pisang goreng). Semua kue tersebut
mengelilingi piring yang berisikan nasi dan di atasnya ada telur goreng. Acara
seperti ini ternyata bisa menambah keakraban antar sesama warga sehingga bisa
menyambung silaturahmi yang putus akibat konflik.
B.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui tentang Sejarah Haroa menurut Islam
2.
Untuk mengenal berbagai macam Haroa
3. Untuk mengetahui tentang Tradisi Haroa Sebagai Media
Resolusi Konflik Dalam Menciptakan Perdamaian Umat Antar Suku Bangsa Di Buton
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tradisi Haroa Masyarakat Buton
Haroa adalah ritual perayaan hari besar Islam.
Pelaksanaannya dilaksanakan di rumah-rumah warga yang diikuti semua anggota
rumah dan tetangga yang diundang baik yang berbeda suku maupun agama. Mereka
duduk mengumpul di satu ruangan, dan di tengahnya ada nampan yang berisikan
kue-kue seperti onde-onde, cucur (cucuru),bolu, baruasa (kue beras), ngkaowi-owi
(ubi goreng), dan sanggara (pisang goreng). Semua kue tersebut
mengelilingi piring yang berisikan nasi dan di atasnya ada telur goreng. Usai
pembacaan doa, acara selanjutnya adalah makan-makan. Saya teringat antropolog
Victor Turner yang mengatakan bahwa makna ritual adalah memperkokoh jaringan
sosial di antara seluruh anggota masyarakat. Silaturahmi dengan tetangga, serta
kian akrab dengan semua keluarga.
Dalam setahun,
haroa bisa dilaksanakan selama beberapa kali, sesuai dengan hari besar yang
dirayakan. Misalkan :
1. Pekandeana anana maelu
Pekandeana
anana maelu, yaitu haroa
yang diadakan setiap tanggal 10 Muharram. Tanggal 10 Muharram dirayakan
oleh para sufi dengan tersedu-sedu. Pada hari ini, cucu Rasulullah, Hussein bin
Ali, dibantai bersama seluruh keluarga dan pengikutnya. Makanya, di kalangan
penganut ahlul bayt atau syiah, tanggal 10 Muharram senantiasa dirayakan agar
menjadi pelajaran bagi generasi penerus. Ketika Hussein wafat, maka putranya
Imam Ali Zainal Abidin (atau dalam sejarah dikenal sebagai Imam Sajjad karena
saking seringnya bersujud) menjadi yatim. Dalam bahasa Buton, yatim disebut maelu.
Demi memberi kekuatan bagi Imam Ali Zainal Abdiin agar tegar dalam meneruskan
amanah Rasululah untuk menegakkan agama Islam, orangorang Buton mengadakan
haroa pekandeana anana maelu (makan-makannya anak yatim). Pelaksanaannya
adalah dengan cara memanggil dua orang anak yatim berusia 4 sampai 7 tahun
(sesuai umur Imam Ali). Kemudian dari kalangan keluarga yang melakukan upacara,
secara bergiliran ikut menyuapi dua anak tersebut. Sesudahnya, mereka diberi
uang sekedarnya. Tradisi ini merupakan tradisi sufistik yang kuat di masyarakat
Buton yang sudah dilaksanakan sejak ratusan tahun silam.
2.
Haroana Maludu
Haroana
Maludu, yaitu
haroa yang dilakukan pada bulan Rabiul Awal untuk memperingati maulid Nabi
Muhammad SAW. Lahirnya Muhammad adalah berita gembira yang menjadi berkah bagi
semesta. Muhammad adalah representasi dari sosok yang membawa jalan terang bagi
manusia. Untuk itu, kelahirannya dirayakan dengan haroa dan membaca doa
syukur bersama-sama. Menurut adat Buton, haroa tersebut dibuka oleh
sultan pada malam 12 hari bulan. Kemudian untuk kalangan masyarakat biasa
memilih salah satu waktu antara 13 hari bulan sampai 29 hari bulan Rabiul Awal.
Setelah itu ditutup oleh Haroana Hukumu pada 30 hari bulan Rabul Awal.
Masyarakat menjalankannya setiap tahun dengan membaca riwayat Nabi Muhammad.
Kadangkala selesai haroa, dilanjutkan dengan lagu-lagu Maludu sampai
selesai, yang biasanya dinyanyikan dari waktu malam sampai siang hari.
3.
Haroana Rajabu
Haroana
Rajabu, yaitu haroa
yang dilakukan untuk memperingati para syuhada yang gugur di medan perang
dalam memperjuangkan Islam bersama-sama Nabi Muhammad SAW. Haroana Rajabu dilakukan
pada hari Jumat pertama di bulan Rajab dengan melakukan tahlilan serta berdoa
semoga para syuhada tersebut diberi ganjaran yang setimpal oleh Allah.
4.
Malona Bangua
Malona
Bangua, yaitu haroa
yang dilaksanakan pada hari pertama Ramadhan. Pada masa silam, hari pertama
Ramadhan dimeriahkan dengan dentuman meriam. Kini, dentuman meriam itu sudah
tidak terdengar. Masyarakat merayakannya dengan doa bersama di rumah serta
membakar lilin di kuburan pada malam hari.
5.
Qunua
Qunua, yaitu upacara yang berkaitan dengan Nuzulul Qur’an
(Qunut). Upacara ini biasanya dilaksanakan pada pertengahan bulan suci Ramadhan
atau pada 15 malam puasa. Dulunya, masyarakat memeriahkannya dengan membawa
makanan ke masjid keraton dan dimakan secara bersama-sama menjelang waktu
sahur. Qunua dilakukan usai salat tarwih dan dirangkaian dengan sahur
secara bersama-sama di dalam masjid.
6.
Kadhiria
Kadhiria, yaitu upacara yang berkaitan dengan turunnya
Lailatul Qadr di bulan suci Ramadhan. Upacara ini tata pelaksanannya mirip
dengan Qunua, yakni setelah salat Tarwih dirangkaikan dengan sahur
secara bersama-sama di dalam masjid. Biasanya dilaksanakan pada 27 malam
Ramadhan karena diyakini pada malam itulah turunnya Lailatul Qadr.
C. Tradisi Haroa Sebagai Media Resolusi Konflik Dalam
Menciptakan Perdamaian Umat Antar Suku Bangsa Di Buton
Fenomena
konflik dimana saja dan kapan saja dapat terjadi, kadang manusia tidak pernah
menduga atau pun meramalkannya konflik akan hadir dalam proses interaksi
manusia, konflik bisa saja terjadi tanpa perencanaan atau dugaan terlebih
dahulu, begitu pula akibat yang akan ditimbulkan terhadap konflik manusia tidak
dapat menduganya. Untuk menghindari agar konflik tidak menimbulkan efek yang
tidak diinginkan dan dapat merugikan baik kerugian harta benda maupun korban
jiwa, maka konflik segera diselesaikan. Langkah penyelesaian atas konflik yang
terjadi merupakan antisipasi agar konflik tidak meluas dan menimbulkan akibat
buruk didalam kehidupan bermasyarakat. Kondisi konflik selalu ada dalam proses
interaksi dapat juga kita temukan dalam kehidupan masyarakat Buton. Dalam
kehidupan masyarakat Buton konflik selalu ada ini terlihat dalam keseharian
mereka, dengan secara tiba-tiba bisa saja muncul konflik yang dapat merusak
proses interaksi diantara masyarakat.
Konflik
yang terjadi dalam masyarakat Buton banyak disebabkan oleh konflik politik
akibat pemilihan umum kepala daerah maupun pemilihan legislatif. Dari hasil
penelitian dilapangan menunjukkan banyak masyarakat Buton berkonflik antara
saudara maupun tetangga hanya karena beda pilihan dalam pemilihan Bupati dan
DPRD, dan konflik ini biasanya berlanjut sampai ada suatu acara yang bisa
mempertemukan mereka untuk menyelesaikan konflik. Salah satu cara yang efektif
untuk menyelesaikan konflik dalam masyarakat Buton adalah tradisi haroa,
yaitu suatu ritual perayaan hari besar islam. Tradisi Haroa ini
berhubungan erat dengan upacara atau ritual untuk membentuk keseimbangan dalam
arti menciptakan persatuan dan kebenaran agama islam di Kesultanan Buton.
Menurut
ibn Khaldun tujuan agama yang benar adalah menciptakan integrasi atau kesatuan
sosial dengan cara mengendalikan kualitas-kualitas provokatif dalam diri
manusia seperti dengki dan cemburu, bahkan melenyapkan sifat kasar dan bangga
diri. Agama hadir di tengah kehidupan umat manusia bukan untuk mengubah adat
istiadat setempat, karena adat istiadat merupakan suatu
aspek situasi sosial yang tidak terelakkan di mana masyarakat berada. Oleh
karena itu, agama yang benar semata mata berusaha mengeliminir perang saudara.
Mengenai fungsi sosial agama ini ibn khaldun menyatakan.
Agama itu
melenyapkan sifat kasar dan bangga diri, melatih untuk menguasai perasaan
dengki dan cemburu. Apabila dikalangan mereka terdapat seorang Nabi atau Wali
yang menyuruh mereka melaksanakan perintah Allah, melenyapkan sifat buruk yang
mereka miliki, membuat mereka mengambil sifat terpuji, serta dapat menyatukan suara
mereka untuk menegakkan kebenaran, maka mereka pun akan dapat berkumpul menjadi
satu kesatuan sosial, dan memperoleh kemenangan (kekuasaan) serta kedaulatan.
Sejalan
dengan pemikiran Ibn Khaldun di atas, tradisi haroa yang merupakan
ritual perayaan hari besar islam di Buton ternyata bisa menambah keakraban
antar sesama warga sehingga bisa menyambung silaturahmi yang putus akibat
konflik. Tradisi haroa yang di awali dengan berdoa bersama,
salam-salaman dan dilanjutkan dengan santap bersama juga biasa dihadiri para
undangan yang bukan hanya handai toulan, tetapi juga dihadiri oleh tetangga
terdekat maupun tetangga jauh yang berasal dari etnis yang berbeda. Sebagaimana
diungkapkan informan:
a.
Hal itu
sejalan dengan pernyataan bahwa “gaya hidup keagamaan tergantung pada
ritual-ritual dan upacara-upacara, yang bersifat individual dan kolektif, yang
menyebabkan jiwa dan raga dapat berpartisipasi dalam proses mewujudkan
kebenaran-kebenaran spiritual,” Mohammad Arkoum, Rethingking Islam (pengantar:
Robert D. Lee), (Yogyakarta: LPMI dan pustaka Pelajar, 1996), hal. 137.
b.
Hakimul
Ikhwan Affandi. Akar Konflik Sepanjang Zaman Elaborasi Pemikiran Ibn
Khaldun. Pustaka Pelajar. Yogyakarta: 2004. Hal. 176
“Yang
datang ke rumah nenek, Alhamdulillah, lumayan banyak, baik dari tetangga jauh
maupun tetangga dekat ataupun dari keluarga bahkan ada lho dari etnis lain.
Waahh, pokoknya rame deh. Apalagi ditambah dengan para cucu dan cicit yang
masih kecil-kecil alias masih anak-anak. rame lho. Sayang, gak sempat ngeabadiin
gambar-gambar sukacita itu. Acara haroa ini dimulai dari sekitaran jam 12an
sianglah. Sampai malam, sekitaran setengah 8an. Capek. Tentunya. Gak apa-apa.
Yang penting kumpul. Bagi Ning, acara haroa kayak ginian nih, merupakan salah
satu moment yang sangat penting untuk tetap mempertahankan keakraban dan
silaturahmi antar keluarga. Bisa tertawa bareng keluarga. Bisa cerita-cerita,
saling berbagi pengalaman. Kan enak bisa rame-rame. Serruu.”
Selain
keluarga dan tetangga terjauh yang hadir dalam acara haroa Masyarakat
Islam Buton, dihadiri pula masyarakat non muslim seperti, etnis China Tionghoa,
etnis Hindu Bali, Nasrani, dan lain-lain yang keberadaannya cukup beragam dalam
kehidupan masyarakat Islam Buton. Hal ini terjadi karena pada acara haroa terutama
pada Haroana Maludu, yaitu haroa yang dilakukan pada bulan Rabiul Awal
untuk memperingati maulid Nabi Muhammad SAW. Lahirnya Muhammad adalah berita
gembira yang menjadi berkah bagi semesta alam tak terkecuali umat manusia yang
beda agama dan kepercayaan. Muhammad adalah representasi dari sosok yang
membawa jalan terang bagi manusia. Untuk itu, kelahirannya dirayakan dengan haroa
dan membaca doa syukur bersama-sama. Menurut adat Buton, haroa tersebut
dibuka oleh sultan pada malam 12 hari bulan. Kemudian untuk kalangan masyarakat
biasa memilih salah satu waktu antara 13 hari bulan sampai 29 hari bulan Rabiul
Awal. Setelah itu ditutup oleh Haroana Hukumu pada 30 hari bulan Rabul
Awal.
Masyarakat
Islam Buton dalam merayakan Haroa maludu ini secara bergiliran bahkan
bersamaan sampai selama kurang lebih dua minggu. Rasa kebersamaan dan keakraban
dalam masyarakat semakin terjamin karena semua masyarakat yang ada dalam
lingkungan masyarakat turut di paliki (bahasa lokal, artinya turut
diundang) tanpa mengenal suku maupun agama karena dalam acara haroa menyambut
kelahiran Nabi Muhammad SAW. ini masyarakat islam Buton mengadakan acara dalam
bahasa modern sekarang bisa diistilakan dengan sebutan open house.
Karena
acara haroa maludu dilaksanakan selama kurang lebih dua minggu di
masyarakat dan setiap harinya dihadiri para undangan yang bukan hanya handai
toulan, tetapi juga dihadiri oleh tetangga terdekat maupun tetangga jauh yang
berasal dari etnis yang berbeda. Tetangga terjauh yang hadir tidak hanya
masyarakat muslim saja, melainkan dihadiri pula masyarakat non muslim seperti,
etnis China Tionghoa, etnis Hindu Bali, Nasrani, dan lain-lain yang
keberadaannya cukup beragam dalam kehidupan masyarakat Islam Buton, memunculkan
tanggapan yang mengarah kepada kritik yang bersifat humoris oleh salah seorang
etnis China Tionghoa, sebagaimana ungkapan berikut: “Haiya mana mungkin olang Buton bisa kaya
hali-hali haloa haa”.
Ungkapan
salah satu etnis di atas cukup beralasan karena pada acara haroa maludu nampan
yang berisikan kue-kue seperti onde-onde, cucur (cucuru), bolu, baruasa (kue
beras), ngkaowi-owi (ubi goreng), dan sanggara (pisang goreng)
danberbagai kue lainnya harus berjumlah 40 jenis dan semua kue tersebut
mengelilingipiring yang berisikan nasi dan di atasnya ada telur goreng. Hal ini
menurut dia akanmemakan banyak biaya karena selain kue yang 40 jenis, semua
tamu undangan yangdatang akan di suguhi hidangan.
Namun dari
hasil wawancara dengan salah seorang masyarakat yangmelaksanakan tradisi haroa
mengatakan:
“Mengenai
banyaknya dana yang dikeluarkan dalam tradisi haroa bagiMasyarakat Islam Buton
tidak menjadi suatu persoalan karena jauh sebelum acara haroa dilangsungkan
terutama haroa maludu sudah disediakan memang dananya. Yangterpenting
bagi kami adalah rasa kebersamaan, keakraban dan silaturahmi antarkeluarga dan
para tetangga tetap dipertahankan.
Tanggapan
dari salah seorang tokoh adat masyarakat ini semakin mempertegas keberadaan
tradisi haroa yang dilaksanakan oleh masyarakat islam Buton tentang
pentingnya kebersamaan dalam kehidupan masyarakat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan
dari hasil pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa tardisi haroa sangat
tepat menyelesaikan konflik dan mengintegrasikan masyarakat yang beda suku
karena acara seperti ini ternyata bisa menambah keakraban antar sesama warga
sehingga bisa menyambung silaturahmi yang putus akibat konflik. Tradisi haroa
yang di awali dengan berdoa bersama, salam-salaman dan dilanjutkan dengan
santap bersama juga biasa dihadiri para undangan yang bukan hanya handai
toulan, tetapi juga dihadiri oleh tetangga terdekat maupun tetangga jauh yang
berasal dari etnis dan agama yang berbeda.
Oleh karena
tradisi haroa sudah mengakar pada masyarakat islam Buton dan biasanya
tidak hanya berorientasi profan semata, tetapi juga berorientasi sakral
sehingga pelaksanaannya bisa lebih cepat dan mudah diterima oleh masyarakat,
maka dengan tradisi haroa ini diharapkan resolusi konflik bisa cepat
terwujud, bisa diterima semua kelompok sehingga tidak ada lagi konflik laten
yang tersembunyi dalam masyarakat.
B.
Saran
Dengan
pembahasan tentang Haroa Dalam Pandangan Islam ini, agar kita khususnya
masyarakat Buton depat menanamkan rasa kesadaran dan kecintaan terhadap tradisi
dan budaya yang kaya akan
nilai-nilainya. Masyarakat hendaknya melestarikan dan memelihara tradisi Haroa
ini dalam upaya untuk membangun hubungan keakraban dan persaudaraan serta
menciptakan kondisi yang aman dan damai seperti nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya. Akan tetapi tidak dapat dihindarkan adanya penyimpangan terhadap
tradisi dan budaya ini serta pergesaran nilai-nilai yang ada yang disebabkan
karena pengaruh dari luar.