Pengikut

Rabu, 07 Januari 2015

AKHLAK DAN BUDAYA BUTON



MAKALAH
 ( HAROA DALAM PANDANGAN ISLAM )





Disusun Oleh :

NAMA       :

RAHMAD SANTOSA

FAKULTAS TEKNIK INFORMATIKA
UNIVERSITAS DAYANU IKHSANUDDIN
BAUBAU
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penyusun dapat menyusun makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini membahas Haroa Dalam Pandangan Islam.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapat tantangan dan hambatan akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan itu bisa teratasi. Olehnya itu, penyusun mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, semoga bantuannya mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat penyusun harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita sekalian.

Baubau, 24 NOVEMBER 2014

DAFTAR ISI

COVER 
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
B.       Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
A.     Tradisi Haroa Masyarakat Islami Buton
B.     Tradisi Haroa Sebagai Media Resolusi Konflik Dalam Menciptakan Perdamaian Umat Antar Suku Bangsa Di Buton
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan
B.     Saran
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Kanyataan dalam kehidupan manusia yang tidak terhindarkan adalah seringnya terjadi konflik, sebab konflik sifatnya laten dan selalu berpeluang untuk terjadi. Dewasa ini dalam kehidupan manusia konflik sangat mudah dilihat dan didengar, baik itu dilingkungan sendiri maupun terjadi ditempat yang lain, bahkan di media baik yang cetak maupun yang elektronik banyak menyajikan pertikaian yang terjadi, di bumi pertiwi ini. Di Ambon, Kalimantan dan Poso terjadi konflik besar yang menelan korban harta dan korban jiwa. Pertentangan antara etnik, agama dan kepentingan sering menjadi penyebab utama terjadinya konflik. Konflik dalam proses interaksi sosial merupakan realitas dalam kehidupan manusia. Konflik tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia sehari-hari, sebab konflik dapat terjadi pada level individu, sosial maupun ditingkat elit bangsa ini. Fenomena sehari-hari sering memperlihatkan bahwa konflik dapat saja dengan mudah terjadi, kadang penyebabnya sangat tidak mendasar bahkan sangat “sepele”. Inilah yang selalu membuat para peneliti untuk mengkaji secara mendalam kenapa konflik dalam kehidupan manusia yang selalu hadir ditengah tengah porses interaksi manusia.
Konflik yang mengarah kepada kekerasan merupakan salah satu indikasi masyarakat sedang “sakit” dimana faktor non adaptive lebih berkembang dari faktor adaptive. Dalam kondisi demikian, masyarakat dilanda krisis nilai dan norma sosial. Sebagian dari nilai-nilai sosial yang sejak lama disosialisasikan tidak lagi dipergunakan sebagai acuan dalam melakukan interaksi sosial. Disamping itu, norma-norma sosial yang ada juga tidak mampu mengendalikan arah perilaku anggota masyarakat. Hal ini terjadi karena kekecewaan yang amat hebat karena berbagai harapan masyarakat, baik yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan ekonomi, politik, maupun kultural, tidak terpenuhi.
Dalam rangka meredam konflik yang disebabkan oleh kekecewaan karena berbagai harapan masyarakat yang berkaitan dengan kultural maka di Buton sejak masa kesultanan sampai sekarang telah melakukan tradisi haroa. Tradisi haroa ini ternyata dipandang efektif sebagai media resolusi konflik dalam menciptakan perdamaian umat sekaligus media integrasi antar suku yang berada di Kabupaten Buton. Hal ini dapat dilihat dari keakraban dan silaturahmi antar keluarga dan tetangga yang beda suku bisa cerita-cerita bareng dan saling berbagi pengalaman jika tradisi haroa dilaksanakan.
Menariknya, tradisi haroa yang dilaksanakan oleh Masyarakat Islam Buton ini diadakan pada hari-hari besar islam dan dilaksanakan di rumah-rumah warga yang diikuti semua anggota rumah dan tetangga yang berbeda suku maupun yang berbeda agama duduk mengumpul di satu ruangan, dan di tengahnya ada nampan yang berisikan kue-kue seperti onde-onde, cucur (cucuru), bolu, baruasa (kue beras), ngkaowi-owi (ubi goreng), dan sanggara (pisang goreng). Semua kue tersebut mengelilingi piring yang berisikan nasi dan di atasnya ada telur goreng. Acara seperti ini ternyata bisa menambah keakraban antar sesama warga sehingga bisa menyambung silaturahmi yang putus akibat konflik.

B.   Tujuan
1.     Untuk mengetahui tentang Sejarah Haroa menurut Islam
2.     Untuk mengenal berbagai macam Haroa
3.     Untuk mengetahui tentang Tradisi Haroa Sebagai Media Resolusi Konflik Dalam Menciptakan Perdamaian Umat Antar Suku Bangsa Di Buton



BAB II
PEMBAHASAN

A.   Tradisi Haroa Masyarakat  Buton
Haroa adalah ritual perayaan hari besar Islam. Pelaksanaannya dilaksanakan di rumah-rumah warga yang diikuti semua anggota rumah dan tetangga yang diundang baik yang berbeda suku maupun agama. Mereka duduk mengumpul di satu ruangan, dan di tengahnya ada nampan yang berisikan kue-kue seperti onde-onde, cucur (cucuru),bolu, baruasa (kue beras), ngkaowi-owi (ubi goreng), dan sanggara (pisang goreng). Semua kue tersebut mengelilingi piring yang berisikan nasi dan di atasnya ada telur goreng. Usai pembacaan doa, acara selanjutnya adalah makan-makan. Saya teringat antropolog Victor Turner yang mengatakan bahwa makna ritual adalah memperkokoh jaringan sosial di antara seluruh anggota masyarakat. Silaturahmi dengan tetangga, serta kian akrab dengan semua keluarga.
Dalam setahun, haroa bisa dilaksanakan selama beberapa kali, sesuai dengan hari besar yang dirayakan. Misalkan :
1.     Pekandeana anana maelu
Pekandeana anana maelu, yaitu haroa yang diadakan setiap tanggal 10 Muharram. Tanggal 10 Muharram dirayakan oleh para sufi dengan tersedu-sedu. Pada hari ini, cucu Rasulullah, Hussein bin Ali, dibantai bersama seluruh keluarga dan pengikutnya. Makanya, di kalangan penganut ahlul bayt atau syiah, tanggal 10 Muharram senantiasa dirayakan agar menjadi pelajaran bagi generasi penerus. Ketika Hussein wafat, maka putranya Imam Ali Zainal Abidin (atau dalam sejarah dikenal sebagai Imam Sajjad karena saking seringnya bersujud) menjadi yatim. Dalam bahasa Buton, yatim disebut maelu. Demi memberi kekuatan bagi Imam Ali Zainal Abdiin agar tegar dalam meneruskan amanah Rasululah untuk menegakkan agama Islam, orangorang Buton mengadakan haroa pekandeana anana maelu (makan-makannya anak yatim). Pelaksanaannya adalah dengan cara memanggil dua orang anak yatim berusia 4 sampai 7 tahun (sesuai umur Imam Ali). Kemudian dari kalangan keluarga yang melakukan upacara, secara bergiliran ikut menyuapi dua anak tersebut. Sesudahnya, mereka diberi uang sekedarnya. Tradisi ini merupakan tradisi sufistik yang kuat di masyarakat Buton yang sudah dilaksanakan sejak ratusan tahun silam.



2.     Haroana Maludu
Haroana Maludu, yaitu haroa yang dilakukan pada bulan Rabiul Awal untuk memperingati maulid Nabi Muhammad SAW. Lahirnya Muhammad adalah berita gembira yang menjadi berkah bagi semesta. Muhammad adalah representasi dari sosok yang membawa jalan terang bagi manusia. Untuk itu, kelahirannya dirayakan dengan haroa dan membaca doa syukur bersama-sama. Menurut adat Buton, haroa tersebut dibuka oleh sultan pada malam 12 hari bulan. Kemudian untuk kalangan masyarakat biasa memilih salah satu waktu antara 13 hari bulan sampai 29 hari bulan Rabiul Awal. Setelah itu ditutup oleh Haroana Hukumu pada 30 hari bulan Rabul Awal. Masyarakat menjalankannya setiap tahun dengan membaca riwayat Nabi Muhammad. Kadangkala selesai haroa, dilanjutkan dengan lagu-lagu Maludu sampai selesai, yang biasanya dinyanyikan dari waktu malam sampai siang hari.

3.     Haroana Rajabu
Haroana Rajabu, yaitu haroa yang dilakukan untuk memperingati para syuhada yang gugur di medan perang dalam memperjuangkan Islam bersama-sama Nabi Muhammad SAW. Haroana Rajabu dilakukan pada hari Jumat pertama di bulan Rajab dengan melakukan tahlilan serta berdoa semoga para syuhada tersebut diberi ganjaran yang setimpal oleh Allah.

4.     Malona Bangua
Malona Bangua, yaitu haroa yang dilaksanakan pada hari pertama Ramadhan. Pada masa silam, hari pertama Ramadhan dimeriahkan dengan dentuman meriam. Kini, dentuman meriam itu sudah tidak terdengar. Masyarakat merayakannya dengan doa bersama di rumah serta membakar lilin di kuburan pada malam hari.


5.     Qunua
Qunua, yaitu upacara yang berkaitan dengan Nuzulul Qur’an (Qunut). Upacara ini biasanya dilaksanakan pada pertengahan bulan suci Ramadhan atau pada 15 malam puasa. Dulunya, masyarakat memeriahkannya dengan membawa makanan ke masjid keraton dan dimakan secara bersama-sama menjelang waktu sahur. Qunua dilakukan usai salat tarwih dan dirangkaian dengan sahur secara bersama-sama di dalam masjid.


6.     Kadhiria
Kadhiria, yaitu upacara yang berkaitan dengan turunnya Lailatul Qadr di bulan suci Ramadhan. Upacara ini tata pelaksanannya mirip dengan Qunua, yakni setelah salat Tarwih dirangkaikan dengan sahur secara bersama-sama di dalam masjid. Biasanya dilaksanakan pada 27 malam Ramadhan karena diyakini pada malam itulah turunnya Lailatul Qadr.

C.   Tradisi Haroa Sebagai Media Resolusi Konflik Dalam Menciptakan Perdamaian Umat Antar Suku Bangsa Di Buton

Fenomena konflik dimana saja dan kapan saja dapat terjadi, kadang manusia tidak pernah menduga atau pun meramalkannya konflik akan hadir dalam proses interaksi manusia, konflik bisa saja terjadi tanpa perencanaan atau dugaan terlebih dahulu, begitu pula akibat yang akan ditimbulkan terhadap konflik manusia tidak dapat menduganya. Untuk menghindari agar konflik tidak menimbulkan efek yang tidak diinginkan dan dapat merugikan baik kerugian harta benda maupun korban jiwa, maka konflik segera diselesaikan. Langkah penyelesaian atas konflik yang terjadi merupakan antisipasi agar konflik tidak meluas dan menimbulkan akibat buruk didalam kehidupan bermasyarakat. Kondisi konflik selalu ada dalam proses interaksi dapat juga kita temukan dalam kehidupan masyarakat Buton. Dalam kehidupan masyarakat Buton konflik selalu ada ini terlihat dalam keseharian mereka, dengan secara tiba-tiba bisa saja muncul konflik yang dapat merusak proses interaksi diantara masyarakat.
Konflik yang terjadi dalam masyarakat Buton banyak disebabkan oleh konflik politik akibat pemilihan umum kepala daerah maupun pemilihan legislatif. Dari hasil penelitian dilapangan menunjukkan banyak masyarakat Buton berkonflik antara saudara maupun tetangga hanya karena beda pilihan dalam pemilihan Bupati dan DPRD, dan konflik ini biasanya berlanjut sampai ada suatu acara yang bisa mempertemukan mereka untuk menyelesaikan konflik. Salah satu cara yang efektif untuk menyelesaikan konflik dalam masyarakat Buton adalah tradisi haroa, yaitu suatu ritual perayaan hari besar islam. Tradisi Haroa ini berhubungan erat dengan upacara atau ritual untuk membentuk keseimbangan dalam arti menciptakan persatuan dan kebenaran agama islam di Kesultanan Buton.
Menurut ibn Khaldun tujuan agama yang benar adalah menciptakan integrasi atau kesatuan sosial dengan cara mengendalikan kualitas-kualitas provokatif dalam diri manusia seperti dengki dan cemburu, bahkan melenyapkan sifat kasar dan bangga diri. Agama hadir di tengah kehidupan umat manusia bukan untuk mengubah adat istiadat setempat, karena adat istiadat merupakan suatu aspek situasi sosial yang tidak terelakkan di mana masyarakat berada. Oleh karena itu, agama yang benar semata mata berusaha mengeliminir perang saudara. Mengenai fungsi sosial agama ini ibn khaldun menyatakan.
Agama itu melenyapkan sifat kasar dan bangga diri, melatih untuk menguasai perasaan dengki dan cemburu. Apabila dikalangan mereka terdapat seorang Nabi atau Wali yang menyuruh mereka melaksanakan perintah Allah, melenyapkan sifat buruk yang mereka miliki, membuat mereka mengambil sifat terpuji, serta dapat menyatukan suara mereka untuk menegakkan kebenaran, maka mereka pun akan dapat berkumpul menjadi satu kesatuan sosial, dan memperoleh kemenangan (kekuasaan) serta kedaulatan.
Sejalan dengan pemikiran Ibn Khaldun di atas, tradisi haroa yang merupakan ritual perayaan hari besar islam di Buton ternyata bisa menambah keakraban antar sesama warga sehingga bisa menyambung silaturahmi yang putus akibat konflik. Tradisi haroa yang di awali dengan berdoa bersama, salam-salaman dan dilanjutkan dengan santap bersama juga biasa dihadiri para undangan yang bukan hanya handai toulan, tetapi juga dihadiri oleh tetangga terdekat maupun tetangga jauh yang berasal dari etnis yang berbeda. Sebagaimana diungkapkan informan:
a.     Hal itu sejalan dengan pernyataan bahwa “gaya hidup keagamaan tergantung pada ritual-ritual dan upacara-upacara, yang bersifat individual dan kolektif, yang menyebabkan jiwa dan raga dapat berpartisipasi dalam proses mewujudkan kebenaran-kebenaran spiritual,” Mohammad Arkoum, Rethingking Islam (pengantar: Robert D. Lee), (Yogyakarta: LPMI dan pustaka Pelajar, 1996), hal. 137.
b.     Hakimul Ikhwan Affandi. Akar Konflik Sepanjang Zaman Elaborasi Pemikiran Ibn Khaldun. Pustaka Pelajar. Yogyakarta: 2004. Hal. 176

“Yang datang ke rumah nenek, Alhamdulillah, lumayan banyak, baik dari tetangga jauh maupun tetangga dekat ataupun dari keluarga bahkan ada lho dari etnis lain. Waahh, pokoknya rame deh. Apalagi ditambah dengan para cucu dan cicit yang masih kecil-kecil alias masih anak-anak. rame lho. Sayang, gak sempat ngeabadiin gambar-gambar sukacita itu. Acara haroa ini dimulai dari sekitaran jam 12an sianglah. Sampai malam, sekitaran setengah 8an. Capek. Tentunya. Gak apa-apa. Yang penting kumpul. Bagi Ning, acara haroa kayak ginian nih, merupakan salah satu moment yang sangat penting untuk tetap mempertahankan keakraban dan silaturahmi antar keluarga. Bisa tertawa bareng keluarga. Bisa cerita-cerita, saling berbagi pengalaman. Kan enak bisa rame-rame. Serruu.”
Selain keluarga dan tetangga terjauh yang hadir dalam acara haroa Masyarakat Islam Buton, dihadiri pula masyarakat non muslim seperti, etnis China Tionghoa, etnis Hindu Bali, Nasrani, dan lain-lain yang keberadaannya cukup beragam dalam kehidupan masyarakat Islam Buton. Hal ini terjadi karena pada acara haroa terutama pada Haroana Maludu, yaitu haroa yang dilakukan pada bulan Rabiul Awal untuk memperingati maulid Nabi Muhammad SAW. Lahirnya Muhammad adalah berita gembira yang menjadi berkah bagi semesta alam tak terkecuali umat manusia yang beda agama dan kepercayaan. Muhammad adalah representasi dari sosok yang membawa jalan terang bagi manusia. Untuk itu, kelahirannya dirayakan dengan haroa dan membaca doa syukur bersama-sama. Menurut adat Buton, haroa tersebut dibuka oleh sultan pada malam 12 hari bulan. Kemudian untuk kalangan masyarakat biasa memilih salah satu waktu antara 13 hari bulan sampai 29 hari bulan Rabiul Awal. Setelah itu ditutup oleh Haroana Hukumu pada 30 hari bulan Rabul Awal.
Masyarakat Islam Buton dalam merayakan Haroa maludu ini secara bergiliran bahkan bersamaan sampai selama kurang lebih dua minggu. Rasa kebersamaan dan keakraban dalam masyarakat semakin terjamin karena semua masyarakat yang ada dalam lingkungan masyarakat turut di paliki (bahasa lokal, artinya turut diundang) tanpa mengenal suku maupun agama karena dalam acara haroa menyambut kelahiran Nabi Muhammad SAW. ini masyarakat islam Buton mengadakan acara dalam bahasa modern sekarang bisa diistilakan dengan sebutan open house.
Karena acara haroa maludu dilaksanakan selama kurang lebih dua minggu di masyarakat dan setiap harinya dihadiri para undangan yang bukan hanya handai toulan, tetapi juga dihadiri oleh tetangga terdekat maupun tetangga jauh yang berasal dari etnis yang berbeda. Tetangga terjauh yang hadir tidak hanya masyarakat muslim saja, melainkan dihadiri pula masyarakat non muslim seperti, etnis China Tionghoa, etnis Hindu Bali, Nasrani, dan lain-lain yang keberadaannya cukup beragam dalam kehidupan masyarakat Islam Buton, memunculkan tanggapan yang mengarah kepada kritik yang bersifat humoris oleh salah seorang etnis China Tionghoa, sebagaimana ungkapan berikut:  “Haiya mana mungkin olang Buton bisa kaya hali-hali haloa haa”.
Ungkapan salah satu etnis di atas cukup beralasan karena pada acara haroa maludu nampan yang berisikan kue-kue seperti onde-onde, cucur (cucuru), bolu, baruasa (kue beras), ngkaowi-owi (ubi goreng), dan sanggara (pisang goreng) danberbagai kue lainnya harus berjumlah 40 jenis dan semua kue tersebut mengelilingipiring yang berisikan nasi dan di atasnya ada telur goreng. Hal ini menurut dia akanmemakan banyak biaya karena selain kue yang 40 jenis, semua tamu undangan yangdatang akan di suguhi hidangan.
Namun dari hasil wawancara dengan salah seorang masyarakat yangmelaksanakan tradisi haroa mengatakan:
“Mengenai banyaknya dana yang dikeluarkan dalam tradisi haroa bagiMasyarakat Islam Buton tidak menjadi suatu persoalan karena jauh sebelum acara haroa dilangsungkan terutama haroa maludu sudah disediakan memang dananya. Yangterpenting bagi kami adalah rasa kebersamaan, keakraban dan silaturahmi antarkeluarga dan para tetangga tetap dipertahankan.
Tanggapan dari salah seorang tokoh adat masyarakat ini semakin mempertegas keberadaan tradisi haroa yang dilaksanakan oleh masyarakat islam Buton tentang pentingnya kebersamaan dalam kehidupan masyarakat.

BAB III
PENUTUP

A.   Kesimpulan
Berdasarkan dari hasil pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa tardisi haroa sangat tepat menyelesaikan konflik dan mengintegrasikan masyarakat yang beda suku karena acara seperti ini ternyata bisa menambah keakraban antar sesama warga sehingga bisa menyambung silaturahmi yang putus akibat konflik. Tradisi haroa yang di awali dengan berdoa bersama, salam-salaman dan dilanjutkan dengan santap bersama juga biasa dihadiri para undangan yang bukan hanya handai toulan, tetapi juga dihadiri oleh tetangga terdekat maupun tetangga jauh yang berasal dari etnis dan agama yang berbeda.
Oleh karena tradisi haroa sudah mengakar pada masyarakat islam Buton dan biasanya tidak hanya berorientasi profan semata, tetapi juga berorientasi sakral sehingga pelaksanaannya bisa lebih cepat dan mudah diterima oleh masyarakat, maka dengan tradisi haroa ini diharapkan resolusi konflik bisa cepat terwujud, bisa diterima semua kelompok sehingga tidak ada lagi konflik laten yang tersembunyi dalam masyarakat.

B.   Saran
Dengan pembahasan tentang Haroa Dalam Pandangan Islam ini, agar kita khususnya masyarakat Buton depat menanamkan rasa kesadaran dan kecintaan terhadap tradisi dan  budaya yang kaya akan nilai-nilainya. Masyarakat hendaknya melestarikan dan memelihara tradisi Haroa ini dalam upaya untuk membangun hubungan keakraban dan persaudaraan serta menciptakan kondisi yang aman dan damai seperti nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Akan tetapi tidak dapat dihindarkan adanya penyimpangan terhadap tradisi dan budaya ini serta pergesaran nilai-nilai yang ada yang disebabkan karena pengaruh dari luar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar